KAVIO

KAVIO

Belenggu Keadilan

Senin, 30 Januari 2012


Semua Menjadi Belenggu
Semua Menjadi Tautan
Semua Menjadi Gurauan
Sebuah titik melirih sang pena
Sebuah Jerami menatap pepohonan
Sebuah Air melihat mata nya

Aku tak sanggup, menahan kecelokan ini kawan
Aku merintih dalam tangisan ini
Gelintir Padi yang menunggu ajal
Membungkuk untuk mu wahai kawan

Seorang anak tertangis tertusuk duri mawar yang dibawa nya
Setiap Selir yang semesti nya dihiasi pot bunga
Menjadi aliran darah perjuangan

Kubawa sebatang korek api
Lalu ia memberikan percikan terhadap nya
Menyingkap dibalik Kebohongan

 Aku Jenuh wahai kawan
Aku lelah
Tapi bukan lah ingin ku melupakan derita

Bantu aku sahabat
Bantu aku menentramkan Jiwa
Yang Terbelenggu dalam ketidak adilan
Ketautan yang membuatku hina

Izinkan aku memetik buah itu
Bersendu dengan senyuman
Yang memberiku kehidupan indah
Dengan semua kenangan yang akan terjadi

Biarkan ku memeluk rerindang
Yang mungkin akan melihat tangis ku

DIMANA KAH KEADILAN BERADA?

Suatu Ketika


Terkadang disaat kita tidak tahu harus berbuat apa, disaat itu pula kita dituntut untuk terus berpikir.
Mengenang masa yang usai, dengan penuh rintihan tangis yang merindu.
Kau tahu kawan, sampai ku mengerti tentang indahnya perasaan ini, pula ku harus merasa tersayat oleh pikiran yang terus membelenggu.
Aku menginginkan dirimu, aku membutuhkan mu.
Suatu ketika aku tertidur dalam lelap ku, berharaplah dirimu untuk ada dalam mimpi ku.
Bahkan saat aku tertekuk lutut oleh nista dunia, jadi lah sayap untuk ku terus bangkit.
Malam yang indah untuk ku bayangkan dirimu, menjadikan ku hamba dalam perasaan ini.
Hingga, dan terus berbhakti dalam pengorbanan yang tak kunjung usai.
Hanya ingin kau tahu, niscaya aku merindukan mu.
Betapa perih ku harus yakini, engkau bukan milik ku.
Bahkan dirimu berada dalam pelukan yang berbeda, membuatku gusar tersendu.
Suatu hari, suatu ketika, dan suatu saat
Aku ingin kau berada dalam peluk kasih ku.
Aku Mencintai mu

Sahabat Sejati Sesungguhnya (Naskah Drama Singkat)

Suatu ketika disaat keadilan sudah menjadi kata yang punah. Sedang diadakannya ujian semester. Adi dan Banu duduk sebangku, Sita dan Dini duduk sebangku di depannya, sedangkan Budi duduk sendiri disamping Banu.
Mata pelajaran yang sedang di ujiankan adalah matematika, semua murid terlihat kebingungan dan kewalahan melihat soalnya. Dan terjadi lah percakapan antara 5 sekawan, Adi, Budi, Banu, Sita dan Dini.
Banu:      “Din, aku minta jawaban soal nomor  5 dan 6!”
Dini:         “A dan C”
Sita:         “kalau soal nomor 10,11 dan 15 jawabannya apa Ban?
Banu:      “10 A, 11 D, nomor 15 aku belum”
Adi:          “Huss, jangan kencang-kencang nanti gurunya dengar”
Sita:         “soalnya sulit sekali, masih banyak yang belum aku kerjakan”
Mereka berempat saling contek-mencontek seperti pelajar lainnya. Tapi tidak dengan Budi, ia terlihat rileks dan mengerjakan soal ujian sendiri tanpa mencontek.
Banu:      “Bud,kamu sudah selesai?”
Budi:        “Belum, tinggal 3 soal lagi”
Banu:      “Aku minta jawaban nomor 15 sampai 20 Bud!”
Budi:        “Tidak Bisa Ban,”
Banu:      “Kenapa? Kita sahabat bud, kita harus kerjasama”
Dini:         “Iya Bud, kita harus kerja sama”
Adi:          “Iya, kamu kan yang paling pintar disini bud”
Budi:        “tapi bukan kerjasama seperti ini teman-teman”
Sita:         “Kenapa memang Bud? Hanya 5 soal saja!”
Budi:        “Mencontek atau pun memberi contek adalah hal buruk, yang dosa nya sama. Aku tidak mau mencotek karena dosa, begitu pula member contek ke kalian. Aku minta maaf”
Sita:         “Tapi saat ini, sangat mendesak Bud”
Dini:         “Iya Bud, bantu kami”
Budi:        “tetap tidak bisa”
Adi:          “yasudah, biarkan. Urus saja dirimu sendiri Bud, dan kami urus diri kami sendiri.” (marah dan kesal)
Banu:      “biarkan, kita lihat di buku saja”
Banu lalu mengeluarkan buku dari kolong bangkunya secara diam-diam, kemudian melihat rumus dan jawaban di dalamnya. Lalu Sita menanyakan hasilnya.
Sita:         “Bagaimana Ban? Ada tidak?
Banu:      “ada, kalian dengar ya. 15 A, 16 D, 17 D, 18 B, 19 A, 20 C”
Kareana suara Banu yang agak terdengar keras, Guru pun mendengarnya dan menghampiri mereka berempat.
Guru:      “Kalian ini, mencontek terus. Keluar kalian”
Mereka berempat di hukum di lapangan untuk menghormati tiang bendera.
Banu:      “Aku tidak menyangka akan seperti ini”
Dini:         “Aku juga tidak menyangka, akan dihukum”
Sita:         “Seharusnya kita belajar ya”
Adi:          “Iya, Budi benar”
Banu:      “Disaat seperti ini, baru kita menyadarinya yah!”
Sita:         “Aku menyesal!”
Adi,Dini&Banu:   “Aku juga” bersama
Setelah itu Budi keluar dari kelas dan menghampiri mereka. Kemudian Budi ikut berdiri hormat seperti yang lain.
Dini:         “kenapa bud? Kamu di hukum juga?”
Budi:        “Tidak, aku ingin menjalani hukuman kalian juga.
                                Kita sahabat kan? Aku ingin kita bersama”
Sita:         “aku berharap ini menjadi pelajaran kita semua”
Dini:         “dan tidak kita ulangi lagi”
Adi:          “Kita sahabat sejati”
Lalu mereka semua menjalani hukuman dengan penuh senyum dan tawa. Persahabatan akan mengalahkan segala keburukan.

Pengarang: Shandika Ryandhi
 

Pengikut

Most Reading

Tags